Palembang, ObamaKlik.id,– Kisah sengketa tanah, memang merupakan hal yang paling sulit untuk dicarikan solusinya. Walaupun masalahnya sudah bisa diuraikan bahkan mempunyai dasar hukum yang kuat, kadang kala hukum tak mampu ditegakkan di negara hukum Indonesia.
Ini adalah kisah yang menimpa Sudiatno (61) seorang PNS dan seorang guru yang telah mengabdikan diri sebagai pegawai negeri sipil tenaga pendidik dan pengajar selama 35 tahun di Muaradua, Kabupaten OKU Selatan Sumatera Selatan. Sudiatno merasakan betapa pahit dan berlikunya perjuangan panjang sebidang tanah yang luasnya hampir satu hektar atau persisnya 9.500 m2.
Bahkan melalui tulisan tangannya dia memohon kepada siapapun yang ahli dan mengerti hukum untuk memberikan solusi atas persoalan yang dihadapinya.
“Hampir 12 tahun saya menunggu, tepatnya tanggal 26 Januari 2011 Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) di Jakarta telah diterimanya dari Pengadilan Negeri Baturaja. Namun, hingga saat ini saya belum juga bisa menguasai tanah saya,” katanya kepada sejumlah media, Senin (4/12/2022) di Palembang.
Berdasarkan penelusuran media, putusan PK ke MA adalah keputusan inkracht. Oleh sebab itu pihak yang memenangkan perkara telah memiliki dasar kekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh lagi.
Menurut penuturannya, sebidang tanah yang terletak Desa Sumberjaya, Muaradua, Kabupaten OKU Selatan dibelinya dengan uang hasil keringatnya, harganya waktu itu sesuai dengan akte jual beli 24 Oktober 1998 “hanya” Rp 10 juta. Kini harga tanah seluas 9.475 m2 tersebut nilainya ditaksir sudah mencapai Rp 5 miliar karena akibat perkembangan kota Muaradua, telah berada di tengah kota dan berada di tepi jalan yang sangat strategis.
Sudiatno berkisah tanah tersebut dibelinya tahun 1998 dari Yayasan Bakti Ibu yang bergerak di bidang pendidikan. Akan tetapi, yayasan tersebut tidak melanjutkan kegiatannya sehingga tanah yang dimiliki yayasan dilelang. Namun, lanjut Sudiatno, waktu itu sepi peminat karena lokasinya masih sepi. “Saya akhirnya membeli dengan harga Rp 10 juta, surat jual belinya lengkap,” kata Yatno memulai cerita didampingi istrinya Cincim Sumarni.
Siasat Jahat Pemilik Asal
Kisah penyerobotan dan perampasan hak ini berawal dari keinginan buruk pemilik asal tanah yang bernama Zainal Abidin. Zainal (almarhum) telah menjual tanah ini ke Yayasan Bakti Ibu tahun 1989 seharga Rp 6 juta, merasa tanah yang dia jual itu telah melambung tinggi.
Dengan segala daya upaya, Zainal melakukan gugatan ke Pengadilan Negeri Baturaja. Dalilnya, tanah tersebut dijual diperuntukkan untuk pendidikan. Dengan akal-akalan ini, Zainal bekerja sama dengan oknum pengacara di Baturaja bernama Fahrorozi Hamid, SH dan Heri Priyanto SH dengan cara mengugat Sudiatno. Tak tanggung-tanggung, bukan Cuma Sudiatno yang dia gugat. Ada tujuh pihak yang dia gugat. Mereka adalah Sudiatno, Evie Diana sebagai Ketua Yayasan Bakti Ibu, Sri Yayu, Nursimah, Asmadi Kepala Sekolah SMA Bakti Ibu, Kepala Desa Sumber Jaya, dan Camat Muaradua.
Entah bagaimana proses pengadilan ini berjalan, Sudiatno dinyatakan kalah di PN Baturaja sebagimana Putusan No 11/Pdt.G/2007/PN.BTA tanggal 17 Januari 2008.
Namun demi membela hak nya Sudiatno mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Palembang. DI Palembang dia memenangkan perkara ini sebagaimana putusan Pengadilan Tinggi nomor1424/PDT/2009.
Karena kalah lagi, kali ini pihak penggugat dalam hal ini Zainal bersama pengacaranya balik melakukan kasasi ke Mahkamah Agung di Jakarta. Tapi memang dasar hukum kepemilikan yang lemah, si pemilik asal yang telah melepaskan seluruh hak atas tanah ini lagi-lagi kalah sebagaimana putusan MA Nomor 511/PK/PDT/2010.
Seakan belum berhenti dengan niat buruknya, Zainal kembali melakukan upaya hukum terakhir melalui Peninjauan Kembali (PK) ke MA dan lagi-lagi gagal dan kalah.
Ibarat bermain bola Sudiatno vs Zainal skorenya 3-1. Sudah jelas-jelas Sudiatno terbukti memiliki kekuatan hukum ternyata Zainal yang merasa putera daerah dan memiliki hubungan dengan mantan orang kuat di OKU Selatan tetap membabi buta menduduki lahan yang sudah dijualnya itu.
Sejak bersengketa tahun 2007, hingga sekarang, tanah ini malahan diduduki oleh Zainal dan keluarganya. Paling tidak tujuh orang yang menduduki paksa tanah tersebut terdiri dari Zainuddin, Zen Oktono, Decky, Moza, Ari, Andri dan Bambang. “Mereka bukan saja menduduki tanah tetapi juga merusak pagar yang saya bangun, menebangi seluruh pohon-pohon yang ada di dalam areal tersebut dan mencuri kayu-kayunya.
Tak sampai di situ, mereka juga mendirikan bangunan liar, tentu tanpa memiliki ijin mendirikan bangunan dari Pemda setempat. Bahkan menjual tanah berupa kavling-kavling dan memberikan kuasa kepada pihak lain yaitu Sekolah Islam Teladan Al Kahfy untuk membuat jalan umum. Mereka menghibahkan tanah saya, tanpa seijin saya,” kata Yatno miris.
Tanah yang dihibahkan Zainal seluas 4 x 168 m atau 672 m2 tanpa seijin pemilik yang sah.
Ketika ditanya apakah ada upaya hukum dan perlawanan terhadap perampas tanah ini? Sudiatno mengatakan selalu melaporkan kepada pihak kepolisian setempat. “Saya juga melawan dan menggunakan jasa pengacara untuk mendampingi proses hukum sejak di pengadilan negeri,” urainya.
Dikatakan Sudiatno, dirinya juga telah beberapa kali melaporkan kepada pihak kepolisian perihal pendudukan tanah ini. Tapi hasilnya tidak memuaskan. “Kalau dulu ketika kabupaten ini baru dimekarkan dari OKU Raya, Kapolresnya responsif dan menanggapinya. Pihak kepolisian cepat datang dan para perampas tanah kami juga takut.
Tetapi sekarang, sejak menjadi kabupaten pemekaran OKU Selatan, ketika kami laporkan ke pihak kepolisian malahan aparat kepolisian segan untuk bertindak. Malahan kami disuruh mengalah karena para perampas menurut pengakuan pihak kepolisian masih keluarga orang nomor satu di Kabupaten OKU Selatan,” paparnya menirukan pihak kepolisian yang meninjau lokasi pendudukan tanah kala itu.
Ahli Hukum Merasa Aneh
Pihak pengacara Sudiatno, H. Siahaan SH yang ditemui awak media juga mengakui aneh dengan kasus yang dia tangani ini. “Semuanya sudah menang, namun pihak kepolisian tidak berani mengusir penghuni liar tanah ini.
Alasannya, polisi meminta Putusan Eksekusi dari Pengadilan Baturaja. “Ini aneh, tanah sendiri kok minta putusan eksekusi, bukankah mereka yang menghuni bisa diusir karena berada pada tanah yang bukan miliknya,” kata advocad sekaligus dosen di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya ini.
Sebagai pendidik di bidang hukum, Siahaan menilai ada yang tidak beres dalam kasus penyerobotan tanah ini tetapi dirinya tidak tahu bagaimana lagi. Sekarang kita sedang mengajukan Putusan Eksekusi ke PN Baturaja. Semoga saja tahun ini putusan tersebut,” kata Siahaan. Dia menambahkan, dulu ketika ada keputusan PK dari MA, PN Baturaja melahan mengatakan tidak diperlukan putusan eksekusi.
Namun sekarang, malahan pihak kepolisian minta Putusan Eksaekusi. “Coba kita ikuti saja, semoga saja nanti pihak kepolisian lebih berani menegakkan keadilan dan menghum pelanggar hukum,” lanjut Siahaan.
“Ini negara hukum, kita berharap Pak Yatno bisa dipulihkan haknya dan dikembalikan harta berupa tanah yang telah dibeli secara sah,” kata Siahaan seraya meminta pers membantu proses penegakan hukum ini agar bisa diketahui masyarakat luas.
Dalam kesempatan yang sama Sudiatno menyambut gembira adanya kabar penyelesaian sengketa tanah di luar pengadilan yang digagas Menteri ATR/BPN.
Dia nmengaku, tak sedikit dana, tenaga dan pikiran yang sudah dia dicurahkan. “Kepada siapa lagi saya mengadu. Tolonglah mereka yang mengerti hukum dan penegak hukum bisa memberikan solusinya,” katanya lirih.
Foto-foto:
1 Sudiatno dengan berbagai putusan pengadilan di berbagai tingkatan.
2. Lokasi tanah miliknya telah diduduki orang tak bertanggung jawab dengan mendirikan bangunan.
3. Perampas tanah masih bebas menduduki tanah yang bukan hak mereka.
4. Jalan yang dihibahkan tanpa seijin pemilik yang sah.( Ocha/Rilis)