Obamaklik.id,- Ibu sangat prihatin melihat ayah dalam keadaan bingung. Karena selama ayah di-PHK dari tempat kerjanya, ia kerap kali termenung tanpa bicara.
Padahal selama ini ayah adalah seorang yang periang dan gemar bernyanyi. Aku masih ingat, lagu favorit ayah adalah Delilah yang dipopulerkan Tom Jones.
“Mas kok tampak selalu termenung. Kau terpukul ketika di-PHK perusahaan? Kan tak hanya mas yang diberhentikan. Banyak pekerja lain yang juga di-PHK?” tanya ibu ke pada ayah.
Ayah hanya diam. Sesekali ia tersenyum ke pada ibu. “Yang kupikir masa depan sekolah anak kita, nimas,” ujar ayahku ke pada ibu.
Wajah ayahku tampak murung. Dari celah bulu kumisnya yang lebat, terdapat beberapa uban. Agaknya ia mulai menua. Ah, kasihan ayahku.
Sudah enam bulan ayah di-PHK. Uang simpanan yang ada sudah menipis. Ayah sudah berusaha sebisanya mencari kerja serabutan. Namun hasil yang diperoleh selalu kurang. Bahkan untuk menutupi biaya hidup, uang simpanan ayah kembali terkuras. Wah ini benar-benar mengkhawatirkan.
Pagi itu, ayah dan ibu tampaknya berbincamg serius. Agaknya ayah ada rencana untuk ke luar kota. Ia ingin mencari penghasilan agar kehidupan dan masa depan kami berjalan lebih baik.
“Terutama untuk melanjutkan pendidikan Sartono. Ia anak laki-laki kita. Kebetulan anak laki-laki kita hanya dia seorang,” ujar ayah ke pada ibu.
Kedua orangtuaku berbincang tentang pendidikanku. Apalagi sudah setahun lebih aku tamat SMP, tapi belum melanjutkan ke SMA.
“Ayah mau ke mana?” tanyaku.
Ayah tersenyum. Raut wajahnya begitu getir. Tampak dari gurat garis wajahnya ia memendam derita karena ia merasa bertanggung jawab sebagai kepala keluarga.
“Nak, ayah mau ke luar kota. Sebab kota besar seperti tempat kita bermukim sudah tak bersahabat lagi. Ayah sulit mencari uang di sini. Karena itu ayah akan hijrah ke kota kecil di daerah,” kata ayah.
Mimik ayah begitu serius. Aku belum pernah melihat perubahan wajah ayah seserius itu.
“Ayah minta, Tono harus membantu ibu. Selama ayah di perantauan, kau harus menjadi kakak yang bertanggung jawab ke pada adik-adikmu, ya?” ujar ayah.
Mataku berkaca-kaca. Aku berusaha menehan perasaan agar tak dililit kesedihan. Namun aku tak mampu. Air mataku mengucur deras. Aku menangis. Isakan tangisku menggetarkan perasaan ayah.
Ia memelukku. Diciuminya pipi dan kepalaku. “Nak, kita adalah laki-laki. Jangan cengeng. Ibu dan keempat adikmu adalah tanggung jawab kita. Ayah merantau untuk kebahagiaan kekuarga kita. Ayah titip mereka, nak,” ujar ayah berbisik di telingaku. Suaranya bergetar menahan kepedihan hati.
Sembari menahan kepedihan hatiku, aku pun mengangguk, sembari mendekap ayah yang sangat kukagumi ini. “Insya Allah, ayah. Tono akan membantu ibu sekuat tenaga yang ada,” jawabku sembari mengusap air mata yang deras mengalir ke pipi.
Ibu segera memanggil keempat adikku. Lalu ia mengatakan bahwa ayah akan pergi mencari uang ke kota kecil dari sini.
Sebab setelah ayah di-PHK, keadaan keuangan keluarganya sangat memprihatinkan. Karena itu ayahnya berkeputusan untuk pergi ke Lampung mencari pekerjaan di sana.
“Ada teman ayah yang ingin membantu untuk mencarikan ayah pekerjaan apa saja di sana. Yang penting halal dan bisa memberi nafkah dan menyambung sekolah kakak kalian,” ujar ayah ke pada keempat adikku.
Sebulan setelah kepergian ayah, ibu terpaksa harus ikut membantu mencari uang. Aku dan ibu harus mencari barang-barang bekas untuk dijual kembali.
Siang itu, aku dan ibu mendatangi bak sampah yang ada di kompleks perumahan orang-orang elit di dekat tempat tinggalku. Sedangkan adik-adikku dijaga Dian, adikku paling besar.
“Kau jaga adik-adikmu, Dian ya. Ibu dan kakakmu Tono akan mencari barang-barang bekas untuk membeli beras, ya nak. Ibu sudak masak nasi, goreng ikan asin dan sayur asem untuk kalian makan,” kata ibu ke pada adikku Dian.
Dian dan ketiga adikku lainnya hanya mengangguk. Aku sudah mrnyiapkan karung plastik untuk botol dan cup plastik. Ibu juga sudah mengalungkan wadah besar untuk barang bekas ke lehernya.
Aku dan ibu segera melongok ke bak sampah besar di sudut kompleks perumahan mewah tersebut. Bak beton tempat sampah orang-orang kaya itu menebarkan aroma tak sedap.
Aku mual mencium aroma sampah tersebut. Wuih, baunya bukan main. Meski demikian aku tetap bertahan. Karena kepentingan hidup keluarga membutuhkan ibu dan aku.
Aku baru kali ini menjadi pencari barang-barang bekas di tempat sampah seperti sekarang. Karena itu hidungku begitu peka tercium bau busuk yang menyengat.
Aku membuka tutup bak yang terbikin dari plat besi. Ketika pintu bak terbuka, bau sampah yang menyeruak langsung menerjang penciuman hidungku. Hoak..aku dan ibu muntah, saat itu juga.
Aku kasihan melihat ibu yang terduduk di sudut beton bak sampah yang pecah. Kain yang ia kenakan basah kena muntahannya.
Aku anak laki-lakinya. Aku harus bangkit untuk membantu kesulitan ibuku setelah ayah pergi merantau ke Lampung.
“Ibu tidak apa-apa?” tanyaku setelah kulihat orangtuaku tak tahan mencium aroma sampah yang memualkan ulu hati.
Ibu hanya menggelengkan kepalanya. Ia mencoba bertahan dari penderitaan yang dihadapi. “Tidak. Ibu hanya mual. Sebab baru kali pertama ibu mengalami ini,” ujarnya.
Meski demikian aku sangat gembira. Sebab di bak sampah itu banyak terdapat barang-barang bekas yang bisa dijual lagi. Alhamdulillah, ya Allah…
Aku dan ibu sibuk mewadahi cangkir plastik dan botol air mineral bekas. Sedangkan barang lainya seperti karton bekas dan benda lain yang terdiri dari aluminium dan tembaga aku tempatkan di karung besar.
Aku dan ibu tak menyangka, dalam suasana gembira memperoleh barang-barang bekas yang bisa dijual kembali itu, datang seseorang.
“Hei, kalian dua anak dan ibu ini membait lingkungan menjadi kotor. Bak sampah ini selaku tertutup agar tidak menebarkan bau. Eh, tiba-tiba kalian buka dan mencari barang-barang bekas di sini. Ayo pergi! Bawa semua sampah yang sudah kalian pilih, anjing,” hardik laki-laki berbadan besar berkumis tebal itu dengan wajah menakutkan aku dan ibu.
Begitu takutnya kami, akhirnya dengan terseok-seok, aku mencoba menarik karung berisi tembaga dan aluminum tersebut. Sedangkan ibu membawa karung berisi botol dan cup plastik bekas air mineral. Aku dan ibu bergegas meninggalkan tempat itu.
Ah, hidup sebagai orang susah memang memyakitkan. Untuk bertahan hidup saja dihardik dan dicaci maki seseorang. Padahal apa yang dilakukan Sartono dan ibunya itu sesuatu yang halal dan tidak mengganggu harta orang lain. Ya Allah…
Aku dan ibu pergi dari tempat itu. Sembari menelusuri jalan kompleks, mataku mencari sasaran ke barang-barang bekas di pinggiran jalan.
Ibu yang sejak diusir laki-laki besar berkumis tebal tadi, menujukkan suasana sedih. Bisa jadi di sepanjang hidupnya, ibu belum pernah diperlakukan seperti itu. Makanya ia sedih dan wajahnya tampak murung. Kasihan sekali ibuku.
Untunglah, sebelum kami mencari barang-barang bekas di bak dan timbunan sampah di kompleks orang-orang kaya, aku sengaja membawa skateboard ayah yang sudah lama tidak digunakannya untuk berolahraga, sehingga bisa membantu menarik beban berat barang bekas yang kami cari tanpa menguras banyak tenaga.
Di sepanjang pencarian botol plastik bekas dan wadah air minun mineral itu, ibu tampak tak bersemangat. Ia lebih banyak melamun sembari mengusung beban barang bekas yang diperoleh tadi.
Biasanya mulut ibu begitu garing berbicara. Ia selalu memberi semangat dan mendorong tekadku untuk bangkit setelah ayah di-PHK. Tampaknya ibu benar-benar terpukul setelah dihardik dan dicaci maki orang tadi.
Ibu merasa terhina diperlakukan orang tersebut. “Ibu tidak gembira kita memperoleh banyak barang bekas ini, Bu?” tanyaku memecah kebekuan.
“Senang, nak. Ibu senang sekali. Namun ucapan orang tadi begitu merendahkan kita. Mentang-mentang dia orang kaya, seenaknya saja menghardik dan mencaci-maki kita,” ujar ibu dengan suara bergetar.
Aku baru memahami persoalan ibu. Perasaan beliau terpukul saat dihardik, dicaci dan diusir dari bak sampah kompleks orang-orang kaya tersebut.
“Tak apa bu. Cobaan hidup yang kita alami ini memang berat. Tapi Allah sangat menyayangi kita. Karena seperti dikatakan guru mengajiku, Ustadz Sirodjuddin As-Sumeqqi, semakin disayang Allah SWT, maka kita akan terus dibebani cobaan yang berat, Bu,” kataku.
Ibu tersenyum memandang ke arahku. “Wah, anak ibu. Sekarang Tono sudah semakin dewasa. Ibu bangga dengan caramu berpikir, nak,” tukas ibuku, tersenyum. Aku sangat menyukai senyum ibuku. Bagiku, ibu adalah wanita mulia dan cantik dalam pandanganku.
Tiba di pengkolan jalan umum dekat tugu Keluarga Berncana (KB), ada bak sampah yang jauh lebih kecil dibanding bak sampah kompleks orang-orang kaya tadi.
Aku mengajak ibuku untuk mencari barang bekas di bak tersebut. Namun aku kebih dahulu menyerbu ke sana. Namun ketika ibu membuka tumpukan sampah potongan papan kayu bekas bangunan, ia terpekik.
Aku kaget setengah mati ketika melihat ibuku. Kaki kanannya tertusuk paku yang tertancap di satu potongan papan. Paku sepanjang tiga inci (12 sentimeter) itu menerobos kulit kaki ibu hingga menebus punggung telapak kakinya.
Tiba-tiba ibu terjatuh ke sudut bak sampah. Tubuhnya jatuh ke kubangan air busuk di dekat bak sampah tersebut. Ibuku pingsan seketika akibat paku yang melekat di kakinya.
Aku terpekik meminta tolong. Air mataku berurai ke pipi. Orang-orang pun datang untuk menolong ibu yang sangat kucintai tergeletak tak berdaya. Apalagi dari kakinya mengucur darah segar. “Ibuu…,” teriakku.
Siang itu ayah kaget sekali. Entah apakah instink yang tajam atau apa. Ia tidak mengerti. Sebab ketika ia minum secangkir kecil kopi yang ia seduh pagi tadi di rumah temannya, tiba-tiba cangkirnya pecah.
“Ah, ada apa ini? Kok belum kuminum tiba-tiba pecah?” tukas ayahku kepada temannya Banu.
“Wuih, kok aneh ya? Padahal sejak diseduh tadi, Mas Ical belum menyeruput kopi ini, kan,” kata Banu ke pada ayahku.
Ayahku hanya tersemyum. Namun hati ayahku tak tenang. Pikirannya terpatok ke ibuku. Ayahku gelisah. Perasaannya seperti duduk di atas api. Ah, ada apa ya?
Untuk menenangkan pikirannya, ayah pergi ke tempat parkiran. Ia sekarang bekerja sebagai tukang parkir di Pasar Way Halim.
Selama ini, parkir di Pasar Way Halim ricuh. Ada dua kelompok yang memperebutkannya. Namun karena ditangani polisi setempat, ruang parkir itu akhirnya tak ada yang berani mengusik-uisknya lagi.
Kebetulan ketika ayahlku tiba di Lampung, Banu sahabatnya meminta agar ayahku mau menjadi tukang parkir di pasar itu. Karena ayah membutuhkan pekerjaan, akhirnya ayah menyetujuinya.
Sudah dua bulan ayah menjaga parkir di Pasar Way Halim. Setiap bulan ayah mengirim uang ke pada ibu.
Hari itu, setelah cangkir kopinya pecah, perasaan ayah benar-benar gundah. Ia menjaga parkir dengan perasaan yang tak tenang. Sedangkan kaki ibu tertancap paku berukuran duabelas senitmeter.
“Ya Allah, tolonglah jangan ada apa-apa yang terjadi ke pada kekuargaku di Palembang,” begitu ayah berdoa.
Kemudian ayah merapikan motor-motor orang yang belanja di parkiran. Ia begitu rajin karena tekadnya untuk membahagiakan keluargaku.
Di saat ayah sedang menjaga motor di parkiran, tiba-tiba suasana gaduh. Para pedagang dan orang-orang yang ada di sekitar Pasar Way Halim lari berserabutan.
Ayahku menggerenyitkan alis. Wah, ada apa ini? Kok orang-orang lari berserabutan seperti ketakutan?
Dari ruang depan sekelompok orang berwajah seram datang membawa kayu dan parang panjang. Orang bertato di sepanjang lengannya itu memukul wajah ayahku. Ayahku terjatuh.
Jeritan ayahku yang meminta pertolongan tak didengar orang-orang yang ada di pasar itu. Preman berambut panjang yang membawa parang telanjang itu membacok ayahku.
Dari kepala dan leher ayah, memuncrat darah segar. Ia tergeletak tak berdaya. Sebelumnya tubuh ayah berkelojotan, lalu diam tak berkutik. Ia terkapar mandi darah.(AlexPandawalima*)