Obamaklik.id Seni Budaya,- GETAR seni di dalam jiwa manusia, seringkali menggiring untuk mewujudkannya lewat karya. Begitu pula dengan diri seorang pelukis senior asal Yogyakarta, DN Koestolo.
Sebagai seniman, jiwa Koestolo selalu gelisah. Ketika melihat persoalan kemanusiaan di lapangan, hatinya tergetar hebat. Ini pula yang kerap menggiringnya menjadikan momen fakta kehidupan digarap menjadi sebentuk karya (lukisan).
Mencermati lukisan bertajuk *”Biyung”* yang dikanvaskan di atas medium *oil on canvas* berukuran 120X100 sentmeter, menggelitik hati saya.
Sebab sebagai seorang pelukis, kepekaan nuarani sungguh mengagumkan. Lukisan *Biyung* menggambarkan sosok seorang ibu muda yang sedang mengajak jalan dua anaknya. Yang satu digendong, anak perempuannya lebih besar berdiri di depan ibunya.
Koestolo begitu piawai melukiskan corak seorang wanita Jawa dengan dua anaknya yang masih kecil.
Ketika kita masuk ke dalam estetika lukisan *Biyung*’, Koestolo begitu detil menggambarkan rumusan bentuk.
Dari raut wajah, gurat-garis dan lekuk di tiap celah kulit dan daging bentuk lukisan, digarapnya secara faktual, sehingga orang akan diajak masuk ke dalam corak gagasan dan bentuk manusia sesungguhnya.
Inilah keistimewaan seorang Koestolo ketika menumpahkan ide dan gagasannya ke dalam penggarapan karya.
Lukisan *Biyung* diselesaikan tahun 2020 lalu. Namun dengan bentuk alami seperti itu, karyanya akan abadi secara estetika.
Dari bentuk manusianya, layar belakang dinding yang di posisi bawah terlukis tempelan semennya terkelupas, payung, dan tanah, seolah menggambarkan keadaan sesungguhnya.
Pelukis dunia Oscar-Claude Monet, mengatakan bahwa menggurat lukisan sesuai bentuknya memang membutuhkan ketajaman pikiran dan keterampilan bakat seseorang (sense of art).
Sebab ketika seorang pelukis menangkap ide dari fakta di lapangan, kata Oscar, ia tidak langsung menumpahkan gagasannya ke dalam goresan tangannya.
Memang, pengendapan ide yang akan digagas menjadi lukisan membutuhkan waktu, sehingga seorang pelukis akan gampang memindahkan pokok-pokok pikirannya ke dalam lukisan.
Meski demikian, sikap pelukis memang selalu melekat dengan tradisi hidup kesehariannya. Makanya, ketika DN Koestolo melukis ibu dengan latar belakang tradisi ke-Jawa-annya yang begitu kental tertera di dalam lukisan *Biyung*.
Jika ditelusuri, penguasaan situasi kedaerahan (Jawa) memang begitu melekat di dalam jiwa Koestolo, sehingga ia begitu mudah memaparkan situasi lukisan tersebut.
Seperti diungkap pelukis Oscar-Claude Monet sebelumnya, kedekatan jiwa dan tradisi Jawa yang melekat dalam kehidupan itulah yang “membantu” Koestolo menghadirkan lukisan *Biyung*.
Menurut Afandi, yang membesarkan seorang pelukis ketika ia memaparkan ide dan gagasan di dalam lukisannya, jiwa harus lebur ke dalam fakta bentuk, sehingga karya yang dihasilkan benar-benar menghadirkan bentuk gambar sesuai fakta di lapangan. Bahkan lukisannya terkesan hidup seperti bentuk sesungguhnya. (Anto Narasoma)