Obamaklik.id
ALLAH membeci mereka yang serakah dan merasa lebih hebat dari orang lain. Ini bentuk kesombongan dan keangkuhan yang membahayakan nilai dasar kepribadian manusia sejati.
——————–
Karena itu manusia harus selalu menyadari nilai kemampuan dirinya yang terbatas. Sebab sehebat apa pun diri seseorang, ia hanya menguasai satu ruang yang hanya itu dikuasainya.
Sedangkan ketika ada ruang lain yang dikuasai oleh manusia lain, maka nilai kita berada di belakang manusia yang menguasai ruang itu.
Dalam keadaan ini, fakta yang dihadapi harus menjadi pertimbangan hati nuarani. Sebab akal terkadang tak mampu untuk menalar kekurangan yang ada di dalam diri sendiri.
Akibatnya, ketika kita menghadapi persoalan.orang lain yang berada di depan kita, emosi kita akan terbakar. Akibatnya kita berusaha keras untuk mendahului orang yang ada di depan kita.
Padahal kalau kita mampu mendahului mereka, apakah kita merasa menang? Baik, katakanlah, kalau kita menang, ternyata di depan kita masih ada pemenang lain yang lebih ceoat dan mendahului kita.
Kalau kita turuti emosi yang tak memiliki rasa syukur, kita akan mengejar pemenang itu lagi. Kalau pun kita menang, kita pun akan disalib pemenang lain.
Karena itu kejar-mengejar seperti itu tidak ada gunanya. Karena bentuk kemenangan seperti itu adalah kemenangan semu, yang tidak mampu meredam ambisi dan melupakan rasa syukur ke pada Allah SWT.
Yang jadi pertayaan, apakah kalau kita menerapkan kebijakan jalan santai, pelan dan tidak memancing emosi dan kebencian orang lain, kita dicap kalah dalam persaingan itu?
Jawabnya tentu tidak. Kita mengendarai mobil dengan kecepatan sedang dan tidak memicu kecepatan lebih, kadang-kadang kita ada di depan. Sedangkan di belakang kita masih ada mobil-mobil lain yang mengiringi perjalanan kita.
Apakah kita merasa menang? Lagi-lagi jawabnya tidak. Justru dengan berjalan santai kita akan selamat, tenang dan tiba di garis batas tujuan kita.
Sedangkan kendaraan lain akan menempati ruang di mana kita pernah menempatinya. Apakah mereka kalah? Tidak juga.
Posisi kita menulis puisi bisa seperti itu. Jika kita berada pada posisi awal, mutu karya kita belum sekualitas penyair yang lebih dahulu mengembangkan eksistensinya.
Karena itu biarlah kita berada di posisi belakang sembari belajar agar nanti kita bisa ada di depan. Karena proses kehidupan itu tidak bisa langsung secara instan, tiba-tiba bisa ada di depan. Itulah proses alamiah yang berputar sesuai kodrat dan ketentuan Allah SWT.
Di sini kita dituntut untuk menyadari tentang ukuran kemampuan diri sendiri yang penuh keterbatasan. Sebab apa yang terlihat dan kita alami sesungguhnya hal yang nisbi dan tak mungkin bisa kita capai, karena keterbatasan kemampuan kita sebagai manusia.
Jika kita kaji sejak awal, dahulu dan saling mendahului tak ada artinya. Bahkan batasan siapa menang dan siapa yang kalah, itu suatu fakta yang sulit diterjemahkan akal pikiran. Mengapa?
Seperti mengendarai seunit mobil, ketika kita mendahului mobil yang ada di depan, tiba-tiba ada mobil lain yang juga mendahului mobil kita.
Dahulu dan saling mendahulu, tak akan ada habis-habisnya. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak akan memperoleh posisi untuk berada di depan. Sebab ketika kita ada di depan, ternyata masih ada yang lain di depan kita.
Sebaliknya ketika kita berjalan santai, ternyata di belakang kita masih ada mobil lain yang jalannua lebih perlahan. Apakah kita berada di posisi yang kalah? Jawabannya tentu tidak.
Karena itu kalah menang di dalam mengisi nilai kehidupan ini adalah sesuatu yang nisbi. Karena itu Allah SWT memberikan batasan-batasan sosial ke pada setiap manusia.
Kita bisa menjadi yang terbaik dalam satu bidang. Tapi ketika kita berbicara pada satu bidang lainnya, terrnyata kita tidak ada apa-apanya.
Karena itu coba kita hentikan sikap ingin menang sendiri. Tak ada istilah memang disaat kita berada di depan. Karena masih ada orang lain yang lebih jauh mendahului kita. Seperti kata pepatah, di i atas langit, masih ada langit. (*)
Anto Narasoma