————
Instrumen itu menghadirkan suana tenang yang begitu mengusik perasaan. Ah, penembangnya pasti orang-orang Jawa yang sudah profesional memainkan instrumen tersebut.
Dugaan itu ternyata keliru. Para penembang dan sinden yang melagukan tembang Jawa itu adalah orang-orang kulit putih yang terdiri dari Eropa dan Amerika.
Kok orang-orang bule itu mampu melantunkan tembang Jawa yang mirip dilantunkan penembang aslinya orang Jawa? Pertanyaan ini sangat prinsip.
Apabila disimak, tradisi tembang Jawa itu memang menarik. Tak hanya sebagai lantunan kearifan lokal, namun eksistensinya mampu menggetarkan keinginan bangsa lain, sehingga mereka meminati untuk mempelajari tembang Jawa secara estetika.
Apabila kita menyaksikan kelompok bule yang begitu piawai memainkan kenong, kendang, demung, slenthem, gong, siter, gambang, gender dan suling, nilainya begitu unik dan indah.
Mereka memainkan alat musik tradisional Jawa itu seolah dimainkan para ahlinya (seniman Jawa). Yang membanggakan kita, ternyata beragam bangsa kulit putih dari Eropa dan Amerika sangat meminati langgam Jawa untuk mereka pelajari.
Tembang Jawa atau kerap disebut masyarakat setempat dengan ucapan macapat, merupakan lantunan tradisi yang berkaitan dengan sikap hidup masyarakat Jawa sehari-hari.
Dengan sikap santun dan tata krama yang menarik hati, tercermin ke dalam nada tembang yang melankolik. Bahkan Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuasono menembang dengan nada suara yang bersih.
Sikapnya yang sejuk itulah membuat pengungjung simpatik dengan tampilan sederhannya…..
Ku-sing du -pa kume -lun
Nge-nungkentyas, sang a- pe- kik
Ka wengku sa gung ja – ja
Na ngingsanget – a – ngi – ki – pi
Sang – re – si Ka – ne ka pu – tra
Tu – mu -rusakingwi – ya – ti ……
Lelaki sederhana yang sering dipanggil Romo Projo itu menghentikan bait-bait tembang yang ia lantunkan. Dengan senyum simpatik, ia menyilakan seorang di antara wanita kulit putih yang ikut latihan untuk melantunkan tembang dilagukan Romo Projo tadi.
Dari sikap dan cara menghadapi para turis yang ikut latihan di lingkungan Keraton Yogyakarta, membuat warga kulit putih itu simapatik untuk memahami seni dan tradisi masyarakat Jawa.
Sinden dari Hongaria, Agnes Seporzo yang sudah lebih dari tujuh tahun ikut mempelajari tembang Jawa itu mengakui menyenangi tradisi Jawa.
Bermula belajar dari Solo Jawa Tengah, Agnes menekuni cara dan teknik melantunkan tembang-tembang Jawa. Karena itu setiap ada pergelaran wayang kulit, Agnes diajak grupnya untuk menjadi sinden.
Tak heran daya ucap dan cara bicaranya sudah seperti orang Jawa. Apalagi Agnes sudah lebih dari tujuh tahun mendalami karirnya sebagai sinden wayang kulit.
Tembang Jawa merupakan warisan tradisi masyarakat setempat. Berbicara alat musik tradisi Jawa yang disebut gamelan, bekembang dari sikap dan tradisi masyarakat Jawa yang penuh toleransi.
Karena itu personal yang ikut melengkapi grup musik gamelan saling melengkapi pada fungsi dan posisinya masing-masing.
Saat kebudayaan Hindu-Buddha mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia, alat-alat musik itulah yang hingga sekarang masih dikembangkan komunitas Jawa.
Pengaruh India (Hindu) hanya mempengaruhi musik gamelan dan nyanyian ala Jawa. Menurut mitologi Jawa, musik gamelan diciptakan Sang Hyang Guru di tahun Saka.
Sang Hyang Guru merupakan dewa yang memerintah segala raja di tanah Jawa. Sang Hyang Guru berasal dari pegununan Maendra di Medangkamulan.
Ketika akan memanggil raja-raja di tanah Jawa, ia menciptakan gong. Namun untuk memanggil dengan bahasan kompleks, ia menciptakan lagi dua gong, sehingga membentuk satu set gamelan asli.
Dari perkebangan lanjutan, ditemukan gambar relief di candi Borobudur, Jawa Tengah, pada abad ke-8. Dari dalaman gambar relief di dinding candi, terdapat gambar bentuk seruling bambu, lonceng, drum berbagai ukuran, gambus serta berbagai bentuk musik lainnya.
Namun dalam penemuan itu tidak terdapat alat musik metalopon dan xylophone. Karena itu disarankan agar instrumen ansambel musik itu dijadikan bentuk musik gamelan.
Karena itu di Jawa ansambel tersebut lebih dikenal sebagai alat musik tertua.
Pada abad ke-12 masyarakat Jawa menemukan ansambel munggung dan kodokngorek gamelan.
Gamelan ini membentuk dasar musik “gaya keras”. Berbeda dengan musik “gaya lembut” yang dikembangkan dari tradisi bernyanyi puisi Jawa.
Akhirnya pada abad ke-17 gaya keras dan gaya lembut dikembangkan secara campuran. Gaya keras dan lembut ini mulai muncul di sebagian besar gamelan Bali, Jawa dan Sunda.
Pengembangan musik inilah berjalan dengan sikap hidup dan tradisi masyarakat (Jawa, Sunda dan Bali). Karena nilai tembang yang dilantunkan begitu lembut dan menyentuh suasana.
Tembang Jawa dan musik gamelan yang memiliki nada lembut itulah yang menarik masyarakat luar Jawa (orang-orang Eropa dan Amerika).
Memang, dalam filosofi Jawa, setiap tradisi kehidupan masyarakatnya sangat mempengaruhi nilai-nilai estetika kesenian Jawa, terutama tembang yang diiringi musik gamelan. (*)
Anto Narasoma
Palembang, 13 Juni 2020