OBAMAKLIK,ID, PALEMBANG–Rektor Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, Prof Dr Anis Saggaff MSCE., IPU.Asean.,M.Eng menyatakan status satu dari dua dosen yang terbelit kasus dugaan pelecehan mahasiswa sudah diberhentikan dengan mengacu keputusan Incrah dari pengadilan yang dilaporkan ke Menteri Pendidikan RI, belum lama ini.
Sedangkan untuk dosen Rz hingga saat ini masih berstatus Non aktif karena masih menunggu keputusan Incrah dari pengadilan.
“Kalau untuk status Dosen FKIP, Ad kan sudah Incrah dan sudah kita Non aktifkan dan sudah dilaporkan ke pak Menteri. Untuk dosen satu lagi, yang dari Fakultas Ekonomi, dosen Rz masih Non aktif karena kita masih menunggu putusan Incrah juga dari pengadilan, ” kata Anis di sela-sela kegiatan Pengukuhan guru Besar Unsri di Graha FKIP belum lama ini.
Jika sudah ada putusan Incrah dari pengadilan dan salinan putusan sudah ada, maka pihaknya tetap berkoordinasi dengan Kementrian untuk penon-aktifan yang bersangkutan.
Terkait vonis putusan terhadap dosen AD sebesar enam tahun dan vonis untuk dosen Rz sebesar delapan tahun, Anis enggan berkomentar banyak. Dia sejak awal kasus tersebut menyeruak, menyerahkan sepenuhnya pada kepolisian dan pengadilan.
Apapun yang prosesnya, pihaknya menghormati itu dan saat ini, jajaran rektorat dan tim Unsri hanya menunggu saja.
“Kita serahkan pada tim kepolisian dan pihak pengadilan, kita hormati proses hukum yang berlaku. Kita hanya menunggu bagaimana hasil akhirnya, jika memang terbukti bersalah, ya silahkan, kita tinggal menyelesaikan proses administrasi yang bersangkutan saja, ” Urai Anis yang enggan berkomentar banyak terkait hal tersebut.
Sementara Pengacara dosen Reza Ghasarma, Ghandi Arius saat dihubungi menyatakan banding atas vonis dan putusan peradilan yang mendakwa Reza dengan hukuman delapan tahun penjara. Pihaknya saat ini masih menunggu salinan putusan dari Pengadilan terlebih dahulu dan jika itu selesai baru dilakukan pemberkasan untuk banding pada tahap lanjutan.
“Secara tegas kita nyatakan banding, bahkan hingga tingkat MA sekaligus jika keadilan belum diterima klien kita, ” kata Ghandi.
Dia menyebut sejak awal kasus ini berjalan, pihaknya melihat banyak sekali intimidasi dan tekanan dari seseorang sehingga memposisikan kliennya sebagai orang bersalah. Padahal secara nyata, pada proses persidangan, tidak ada bukti apapun yang mengarahkan kliennya bertindak fisik pada korban.
“Selama persidangan tidak ada bukti tindakan atau sentuhan fisik yang dilakukan terdakwa pada klien kami. Makanya ini jadi aneh. Gara-gata chating atau tulis-tulisan biasa jadi menjerat terdakwa hingga dibilang korban trauma. Sentuhan apa yang dilakukan terdakwa, tidak ada sama sekali, ” kata Ghandi.
Dia pun optimis bisa membebaskan terdakwa dari segala jeratan pada tingkat peradilan diatasnya karena tidak ada tendensi atau intimidasi dari pihak manapun lantaran lebih kepada melihat hasil dan bukti persidangan.
Dia melihat jika kasus ini dilakukan secara independen dan murni, hakim tidak akan memvonis terdakwa dengan hukuman seberat itu.
Diketahui Dosen Universitas Sriwijaya (Unsri), Reza Ghasarma, divonis delapan tahun penjara terkait kasus dugaan pelecehan mahasiswi via chat dari aplikasi pesan.
Majelis hakim menyatakan Reza terbukti melanggar Undang-Undang tentang Pornografi. Putusan itu disampaikan ketua majelis hakim Fatimah dalam sidang virtual di PN Palembang, Senin (30/5), lalu
Selain vonis 8 tahun penjara, Reza diwajibkan membayar denda Rp 500 juta dengan subsider 6 bulan kurungan penjara.
“Menjatuhkan hukuman pidana 8 tahun penjara denda Rp 500 juta dengan subsider 6 bulan kurungan,” ungkap hakim membacakan putusan.
Vonis ini disebut sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 juncto Pasal 35 UU Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Hakim menilai hal yang memberatkan adalah status Reza sebagai dosen yang intelektual namun melakukan perbuatan tidak pantas.
“Yang memberatkan terdakwa tidak sepantasnya sebagai dosen intelektual melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswinya,” tambahnya.
Diketahui sebelumnya, Reza ditetapkan sebagai tersangka atas adanya laporan dari tiga mahasiswi yang mengaku dilecehkan via aplikasi perpesanan berinisial C, F, dan D. Polisi kembali menerima dua laporan mengaku menjadi korban, yakni seorang mahasiswi berinisial D dan seorang alumni berinisial R. (dewi).